Rabu, 30 September 2009

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan menjamin hakhak seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai kedudukan serta kewajiban yang sama didalam hukum.

Di masa pembangunan dewasa ini warga negara Indonesia mendambakan agar supremasi hukum dapat terwujud sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensi logis akan hal tersebut dengan pernyataan dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi : “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum

(Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat)”. Agar hukum dapat

ditegakkan, maka diperlukan adanya persamaan hak dan kewajiban di depan hukum, sehingga hukum benar-benar dapat berfungsi sebagai pengayom masyarakat. Selain itu diperlukan juga sikap tauladan para penegak hukum didalam rangka penegakan hukum, keadilan, perlindungan harkat dan martabat manusia dan ketertiban umum serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.

Telah kita ketahui bersama bahwa Kejaksaan juga dipandang sebagai subyek yang berkarya dibidang praktek hukum, maka harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam GBHN, diantaranya sebagai berikut :

  1. Penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing.
  2. Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum serta sikap para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

Oleh sebab itu kejaksaan harus bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya dan setia pada tugas pokoknya. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pokok tersebut harus dibina dengan sebaik-baiknya. Baik yang menyangkut segi teknik profesinya maupun moral dari para pelaksana (kejaksaan) dalam menjalankannya, karena banyak sekali perkara-perkara baik pidana maupun perdata yang sebagian besar berkaitan dengan kejaksaan.

Tetapi kita jangan beranggapan lebih dulu bahwa keseluruhan tanggung jawab kejaksaan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Padahal berdasarkan kenyataan telah menunjukkan bahwa perkara-perkara baik pidana maupun perdata mampu diselesaikan dengan baik.[1]

Dalam hal ini tentu saja berkaitan dengan kewibawaan para penegak hukum khususnya para jaksa yang menjadi sorotan pada saat ini. Dalam rangka penegakan hukum yang berkaitan dengan hal-hal bagaimana adilnya dalam melaksanakan norma-norma hukum supaya tidak melanggar hak asasi dan kewajiban manusia serta diarahkan kepada bagaimana partisipasi para jaksa dalam pembangunan.[2]

Adapun sikap dan mentalitas (moral) manusia khususnya para jaksa didalam menyelenggarakan tugas penegakan hukum yang sangat erat hubungannya dengan kesadaran dan kepatuhan para penegak hukum serta pengetahuan para jaksa terhadap hukum yang seyogyanya harus dihayati dan diamalkan sehingga hukum dapat dijadikan pedoman dalam segala tindakan para penegak hukum.

Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang “Kejaksaan Republik Indonesia”, yaitu :

Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini, untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang - Undang.

Pasal 2 ayat 1 dan 2 berbunyi sebagai berikut :

1. Kejaksaan Republik Indonesia, selanjutnya dalam undang-undang kejaksaan adalah Lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuatan negara dibidang penuntutan.

2. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.[3]

Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 mengatur tentang “Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia” yaitu :

1. Kejaksaan RI, selanjutnya dalam keputusan Presiden ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara.

2. Kejaksaan agung, Kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri sebagai pelaksana kekuatan negara terutama dibidang penuntutan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan.[4]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan Jaksa dalam bidang kepidanaan dan bidang keperdataan ada perbedaan. Di dalam bidang kepidanaan seorang Jaksa bertindak mewakili pemerintah dalam menjaga ketertiban umum (masyarakat) disertai dengan ancaman-ancaman kemerdekaan terhadap seseorang yang merupakan hak asasinya, sedangkan dibidang keperdataan, seorang Jaksa bertindak mewakili pemerintah sebagai badan hukum (Rechtspersoon), dimana

Jaksa bertindak selaku kuasa atau wakil pemerintah.

Mengenai kedudukan dan peranan kejaksaan dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa kejaksaan sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab kejaksaan mewakili dan mempertahankan kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu bertindak secara netral, didalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya didalam

penanganan perkara selama proses di Pengadilan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa, kejaksaan mempunyai 2 wewenang yaitu, yaitu :

1. Wewenang umum yaitu wewenang sebagaimana yang telah melekat pada tugas dan fungsi pokok kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga pemerintah yang diberi tugas melakukan penuntutan di bidang hukum pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Wewenang khusus yaitu seluruh wewenang kejaksaan selain yang menjadi wewenang umum. Secara literatur sebenarnya wewenang khusus lebih luas daripada wewenang umum, baik yang diatur dalam Lembaran Negara, Keputusan Presiden, Keputusan Jaksa Agung maupun dalam berbagai Undang-Undang.

Dalam perkembangannya, dengan memperhatikan sejarah dan kewenangan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan Keppres No. 55 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang antara lain memberikan kewenangan khusus berupa kewenangan dibidang perdata dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah guna mengimbangi pesatnya arus informasi dan pesatnya laju

pembangunan khususnya di bidang hukum.[5]

Pelaksanaan wewenang khusus dewasa ini mengandung pengertian bahwa, kejaksaan dibidang perdata dapat bertindak mewakili pemerintah baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Pada dasarnya perkara perdata yang ditangani kejaksaan diusahakan untuk diselesaikan di luar pengadilan kecuali pada tahap negoisasi tidak dicapai suatu kesepakatan, maka penyelesaian kasus dilakukan melalui pengadilan.

Satuan yang bertugas menangani masalah perdata, dalam susunan organisasi kejaksan telah ditetapkan Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN), namun hingga saat ini belum seluruh kejaksaan di Indonesia telah membentuk Seksi DATUN. Beberapa kantor kejaksaan terutama pejabat Seksi DATUN masih dirangkap oleh Seksi Tindak Pidana Khusus (PIDSUS), yang berarti dilihat dari segi jumlah personil, kejaksaan belum seluruhnya mampu menjalankan fungsi sebagai kuasa negara atau pemerintah dalam menangani perkara-perkara perdata.

Di dalam praktek, adanya permintaan kepada kejaksaan untuk bertindak sebagai kuasa dari instansi-instansi pemerintah, kepala kejaksaan tidak selalu menunjuk jaksa dari Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara, tetapi ada kalanya ditunjuk Jaksa-Jaksa dari luar Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara, mengingat di lingkungan kejaksaan dikenal adanya

satu asas bahwa pada dasarnya jaksa adalah satu. Sehingga dengan volume perkara yang ada, dibandingkan dengan jumlah dan kemampuan personil, pelaksanaan wewenang sebagai kuasa negara atau pemerintah Republik Indonesia dalam penanganan gugatan-gugatan perdata dapat berjalan lancar tanpa menghambat pelaksanaan tugas-tugasnya yang pokok sebagai Penuntut Umum dan Eksekutor putusan pengadilan dalam bidang hukum pidana.

Dasar hukum pelaksanaan kedudukan dan peranan kejaksaan republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan dijabarkan pada pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, maka dibentuklah Undang-Undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991, disahkan pada tanggal 22 Juli 1991 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 59, untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961

tentang ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan kejaksaan tinggi, yang tidak sesuai lagi dengan perubahan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia.

Secara umum wewenang kejaksaan adalah wewenang sebagaimana yang nampak dalam praktek peradilan umum menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, tanpa disertai penambahan ketentuan-ketentuan khusus berupa surat-surat yang dijadikan dasar pelaksanaan wewenang itu, misalnya surat perintah, surat kuasa dan sebagainya. Adapun yang dijadikan dasar pelaksanaan wewenang bagi Kejaksaan untuk bertindak di luar tugas pokoknya sebagai penuntut umum telah banyak tersebut di berbagai peraturan perundang-undangan antara lain kejaksaan selain mempunyai kewenangan dibidang hukum pidana, berdasarkan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1991 pasal 27 ayat (2) kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di bidang perdata dan Tata Usaha Negara baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Kedudukan dan peranan kejaksaan kini, telah dimantapkan dengan diangkatnya Jaksa Agung Perdata dan Tata usaha Negara (JAM DATUN). Sebagai institusi dalam lingkungan organisasi Kejaksaan Agung yang merupakan hal baru, yaitu lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tanggal 20 November 1991. Namun “Embrio” dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, khususnya di bidang perdata sebenarnya telah ada berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1982, di mana kegiatan di bidang ini dilaksanakan oleh kadit perdata dan bantuan hukum yang merupakan salah satu Direktorat dalam lingkungan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

Eksistensi kejaksaan di bidang perdata ini dimungkinkan karena di dalam Undang-Undang Kejaksaan lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 pasal 2 ayat (4) dinyatakan bahwa kejaksaan mempunyai tugas khusus yang diberikan oleh suatu peraturan negara. Meskipun tugas wewenang kejaksaan di bidang perdata bukanlah hal yang baru karena secara formil dan materiil telah ada sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, namun materi ini dimuat lagi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, yaitu pasal 27 ayat (2). Hal ini merupakan upaya dari kekuasaan legislatif di dalam rangka memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan agar lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagai negara yang sedang membangun.

Tugas dan wewenang kejaksaan di bidang tata usaha negara, merupakan hal baru, karena di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak menyebutkan sama sekali tentang tugas dan wewenang kejaksaan dibidang Tata Usaha Negara, kekuasaan legislatif memberikan tugas dan wewenang baru tersebut kepada kejaksaan antara lain turut menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, serta berkewajiban turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintan dan negara.

Di dalam negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, akan banyak diketemukan keterlibatan dan kepentingan hukum dari negara dan pemerintah di bidang perdata dan tata usaha negara, baik dalam kedudukan sebagai tergugat atau sebagai pihak yang mempunyai kepentingan hukum di luar pengadilan yang dapat diwajibkan kepada kejaksaan. Inilah pandangan antisipatif dari kekuasaan legislatif yang terkandung di dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991.

Guna melaksanakan perintah Undang-Undang tersebut, maka Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 menetapkan adanya Jaksa Agung Perdata dan Tata Usaha Negara dan selanjutnya akan lebih dirinci di dalam keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : Kep-115/J.A./10/1999.

Mengingat Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara merupakan Jaksa Agung Muda, maka untuk mengenal dan mengetahui ichwal tentang institusi baru ini maka disajikan tentang profil JAM DATUN, sehingga kita mempunyai persamaan pemahaman tentang Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Dengan adanya profil ini diharapkan seluruh jajaran kejaksaan memahami bukan saja keberadaan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, melainkan juga tentang tugas, wewenang dan fungsi serta struktur organisasinya yang selanjutnya dapat segera melaksanakan atau mengoperasionalkan peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat didalamnya, tanpa harus menunggu organisasi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara tersusun sempurna dengan segala sarananya, yaitu personil, administrasi, dana, peralatan, fasilitas dan sebagainya.

Tidak ada alasan apapun, kecuali harus melaksanakan kebijaksanaan pimpinan, yaitu mengoperasionalkan JAM DATUN secara optimal, sesuai dengan tingkat kemampuannya di Kejaksaan Agung, di Kejaksaan Tinggi maupun di Kejaksaan Negeri. Dengan dilandasi oleh ketentuan tersebut, maka pada perkembangannya muncul produk-produk hukum baru yang memberikan peluang dan tanggung jawab bagi kejaksaan dalam bertindak secara lebih luas di samping tugas-tugas, fungsi dan tanggung jawab yang sudah ada sebelumnya.

Motto yang diterapkan oleh JAMDATUN di dalam mengoperasionalkan JAMDATUN ialah “bekerja sambil belajar dan belajar sambil bekerja” (learning by doing and doing by learning).

Motto ini ditetapkan karena JAM DATUN harus segera operasional tanpa harus menunggu terwujudnya organisasi yang sempurna, tersedianya sarana dan prasarana, piranti halus dan piranti keras, maupun kelengkapan-kelengkapan lainnya. JAMDATUN menyadari keadaannya yang serba terbatas, baik pengetahuan, ketrampilan maupun pengalaman, demikian pula fasilitas yang diperlukannya, serta belum dikenalnya keberadaan JAM DATUN secara luas oleh Unsur-unsur eksternal kejaksaan. Sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus segera bekerja meskipun sambil belajar dan harus selalu belajar tanpa perlu menunda atau menghentikan pekerjaan. Bekerja dan belajar akan dilakukan oleh JAM DATUN secara simultan.[6]

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa kedudukan dan peranan kejaksaan dalam penegakan hukum.Cukup berat khususnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perkara-perkara perdata, sehingga dapat dikemukakan permasalahan yang dihadapi antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan dan peranan kejaksaan dalam menangani perkara – perkara perdata?

2. Faktor-faktor apa yang menghambat kedudukan dan peranan kejaksaan dalam perkara perdata ?

3. Bagaimanakah cara penyelesaian faktor-faktor yang menghambat kedudukan dan peranan kejaksaan dalam perkara perdata?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Sesuai dengan permasalahan tersebut maka untuk memudahkan pemahaman isi penulisan skripsi ini dibatasi hanya pada pembahasan mengenai Kedudukan Dan Peranan Kejaksaan Dalam Perkara – Perkara Perdata Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991.

Pembahasan pertama akan dibahas mengenai kedudukan dan peranan kejaksaan dalam menangani perkara – perkara perdata, sebagai upaya untuk mengetahui kedudukan jaksa dalam menjalankan sidang perkara perdata.

Pembahasan kedua mengenai faktor yang menjadi penghambat kedudukan dan peranan kejaksaan dalam perkara – perkara perdata yang terjadi.

Pembahasan ketiga mengenai penyelesaian yang dilakukan terhadap faktor penghambat kedudukan dan peranan jaksa dalam perkara – perkara perdata

1.4. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana kedudukan dan peranan kejaksaan dalam menangani perkara-perkara perdata.

2. Untuk mengetahui dan menggambarkan faktor-faktor apa yang menghambat kedudukan dan peranan kejaksaan di dalam menangani perkara-perkara perdata.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk memberikan suatu solusi yang berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat menghambat kedudukan dan peranan kejaksaan di dalam menangani perkara – perkara perdata.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1. Berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentunya dalam hal kedudukan dan peranan kejaksaan dalam perkara perdata.

2. Berguna untuk penambahan artikel – artikel yang sudah ada, dimana nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan.

b. Manfaat Praktis

1. Berguna untuk suatu pemecahan masalah yang praktis dalam mencari kedudukan dan peranan kejaksaan dalam perkara perdata.

2. Berupaya untuk mendapatkan manfaat yang konkrit dimana penulis dapat melatih membuat suatu karya tulis.

1.6. Landasan Teoritis

1.7. Metode Penelitian

Agar dalam penyusunan skripsi ini data serta keterangan yang telah dikumpulkan secara obyektif dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penulis melakukan beberapa metode antara lain :

1. Pendekatan Masalah.

Penelitian yang dilakukan untuk membahas permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah penulisan yuridis normatif yaitu membahas masalah dengan cara menghubungkan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku yang mengatur mengenai masalah yang akan dibahas.[7] Adapun pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang – undangan yaitu untuk mengetahui bagaimana Undang – undang mengatur permasalahan ini.

2. Sumber Bahan Hukum

Dalam Penelitian hukum normatif hanya meneliti bahan pustaka atau data sekunder.[8] Dalam penelitian ini mencakup sumber:

a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain peraturan Perundang – undangan yang berkaitan dengan Kejaksaan dan Keputusan Presiden Tentang Kejaksaan antara lain UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, KEPPRES No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah dalam bentuk literatur – literatur mengenai Kedudukan Jaksa Dalam Perkara Perdata serta artikel – artikel hukum yang dimuat di majalah, koran, atau media elektronik.

dengan studi kepustakaan maka penulis menganalisa dengan menggunakan metode diskriptif analitis dengan pendekatan secara yuridis dimana penulis ingin menjelaskan atau menggambarkan bagaimana kedudukan dan peranan kejaksaan serta bagaimana prakteknya apakah sesuai dengan undang-undang No. 16 tahun 2004 dan Keppres No. 55 tahun 1991.

3. Teknik Analisis Data

Yaitu suatu teknik yang digunakan oleh penulis dengan mengolah data-data yang telah diperoleh, baik data primer dan sekunder dengan menggunakan metode analisa diskriptif kualitatif yaitu dengan cara menafsirkan data-data yang diperoleh untuk dihubungkan dengan peraturan-peraturan.



[1] Djoko Prakoso, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan. Ghalia Indonesia. Jakarta, 1984, hal. 9.

[2] Ibid. Hal. 10.

[3] Himpunan Peraturan Tentang Tugas dan Kewenangan Kejaksaan. Kejaksaan Agung RI. Jakarta. Hal. 39.

[4] Ibid. Hal. 9

[5] Made Sudhana Ardjana, Sejarah Wewenang Kejaksaan di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Tesis. Malang, hal. 48.

[6] Himpunan Peraturan Perundang-Undangan JAM DATUN Tentang Profil JAM DATUN.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jakarta. 1993. hal. 67.

[7] Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2005, h.92.

[8] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif ( Suatu Tinjauan Singkat), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, h.13.