Minggu, 09 Mei 2010

HAM

HAK ASASI MANUSIA

Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena memang adanya demikian. Maka setiap manusia dalam segi kehidupannya tidak akan terlepas dari perlindungan-perlindungan hak dan tidak seorangpun dapat mengingkari Hak asasi manusianya tanpa adanya keputusan hukum yang adil. Hanya dalam keadaan yang terbatas dan tertentu saja (seperti diduga kuat melakukan kejahatan atau adanya keharusan Negara dalam keadaan perang) seseorang dapat atau bisa dicabut hak asasinya.
Dengan demikian maka konsepsi hak asasi manusia dapat membuat perbedaan status seperti pemahaman ras,gender,dan juga agama tidak relevan secara politis dan hukum maka menuntut adanya perlakuan yang sama tanpa memandang apakah orang yang bersangkutan memenuhi kewajiban terhadap komunitasnya.
Dalam kaitannya dengan Nebis in Idem maka hak asasi manusia akan berlaku sebagai control dan fungsi yang selalu mengikat baik dari norma sipil kemanusiaan mupun juga norma hukum.dalam pelaksanaan dan juga penegakan Ham,maka pelaksanaan HAM dan penegakan Norma hukum harus berjalan secara seimbang.hal ini dimungkinkan karena peranan ham adalah peranan yang sangat menentukan harkat dan jiwa seseorang.

PEMBAHASAN
I. Pengertian HAM:
Menurut Undang-undang No 39 tahun 1939 tentang Ham, Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan juga keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang maha esa dan juga sekaligus merupakan Anugerah-Nya yang tentu saja wajib dijunjung tinggi serta dihormati.selain itu juga wajib dilindungi oleh Negara,hukm dan juga pemerintah.dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan juga martabat manusia
Sedangkan menurut David.P.Forsythe dalam bukunya Hak-Hak asasi manusia dan politik dunia,HAM adalah penanganan yang membawa tuntutan yang bersifat fundamental dan sekaligus berhadapan dengan kekuasaan yang dibangun oleh pemerintah sebagai control .
sosial sekaligus sebagai control fisik atas kegiatan kehidupan yang berkembang dimasyarakat.dimana tentunya pemerintah sangat mengharapkan agar keseimbangan berada pada dua sisi dan juga dua arah sesuai dengan Nurani.

Menurut Thomas Paine,dikutip dari Buku Hak asasi manusia, Hak-hak asasi itu adalah hak-hak yang dimiliki oleh seseorang karena keberadaannya.maka diantara hak-hak jenis ini tercakup segala hak intelektual,atau hak berfikir,dan juga segala hak untuk bertindak sebagai individu ebagai bentuk kenyamanannya sendiri dan juga kebahagiaannya sendiri,asalkan tidak merugikan hak-hak asasi orang lain.
Ham Dipahami sebagai Hak yang Mewakili tuntutan individual dan juga kelompok bagi pembentukan dan pembagian kekuasaan dan juga sekaligus menjadi penilaian yang berharga dalam proses Komunitas terutama nilai penghormatan dan juga kesabaran bersama.

II. Pengertian HAM Sipil:
Didalam pelaksanaan hak dan kebebasannya,setiap orang hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditetapkan oleh Hukum,semata-mata demi tujuan untuk menjamin pengakuan dan juga penghormatan yang seharusnya terhadap hak dan juga kebebasan orang-orang lain dan memenuhi persyaratan-persyaratan moralitas,ketertiban umum serta kesejahteraan umum yang adil dalam sebuah masyarakat yang bentuknya adalah demokratis.
Nebis in Idem:adalah satu perkara yang telah diputuskan oleh hakim di pengadilan maka tidak boleh disidangkan untuk keduakalinya.
Dengan demikian maka suatu peninjauan yang berlaku untuk asas bahwa suatu sengketa ataupun suatu perkara yang sama tidak boleh lebih daripada daripada satukali diserahkan untuk diputuskan oleh pengadilan.dalam perkara perdata berlaku putusan hakim yang memperoleh kekuatan pasti (Het Gezag Van Het Gewijsde) yang sekali diperoleh menutup penutupan untuk seterusnya.
Dalam suatu perkara Hukum,terutama permasalahan Pidana.tersangka yang ada pada suatu kenyataan material sudah tersangkut terlebih dahulu dimuka pengadilan,maka untuk urusan tersebut tidak dapat dituntut lagi kecuali jika ada keberatan-keberatan baru yang dikenal dan kecuali dalam hal peninjauan kembali
Dalam pasal 18 ayat 5 setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama terhadap suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

III. Ketentuan HAM sipil Dalam Nebis In Idem.
HAM merupakan hasil dari bentukan suatu dinamika moralitas seseorang dan memiliki prinsip tidak dapat diganggu gugat(Emile Durkheim)
Kaitannya dengan HAM sipil adalah bahwa HAM sipil yang dimiliki oleh setiap individu akan berpotensi untuk melindungi individu tersebut terhadap kemungkinan adanya suatu perkara penuntutan
Contoh: kejadian kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan anggota mahasiswa, yang dinyatakan Oleh Komisi DPR bahwa kejadian tersebut dinyatakan tidak tergolong sebagai pelanggaran HAM berat,dan sampai sekarang kasus ini masih diendapkan.
Dengan adanya permasalahan yang demikian kompleksnya tentunya peranan perlindungan dalam HAM sipil harus berfungsi.Ketentuan Hukum yang bersifat dogmatig tidak akan bisa menjamin suatu keadilan,HAM akan dapat berjalan bila suatu pandangan antara benar dan salah dipertimbangkan dalam proporsi yang disesuaikan dengan kondisi norma hukum itu sendiri
Sesuai dengan demikian Dogmatig dalam suatu putusan Nebis In Idem tidak dapat dikatakan suatu pengekangan karena Hak sipil perorangan adalah kondisi Mutlak.sesuai dengan Pasal 7 konvensi PBB:hak untuk tidak disiksa.

IV. Manfaat HAM sipil terhadap suatu perkara Nebis in idem.
Putusan dalam pengadilan adalah bersifat tetap,sehingga apabila suatu perkara diputus tanpa adanya peninjauan aspek dan juga fungsi hak seseorang,maka akan mengabaikan segi kedudukan HAM sipil seseorang.peranan-peranan HAM sipil adalah Pemahaman Kodrati manusia itu sendiri dihadapan Hukum.peranan Ham sipil ini adalah sebagai tindakan yang dapat digunakan untuk membatasi adanya penyimpangan dalam prosedur eksekusi suatu perkara.
Pelaksanaan HAM sipil itu sendiri akan melindungi seseorang terhadap suatu putusan,dimana orang tersebut sudah diputus perkaranya di pengadilan.HAM sipil akan selalu bersifat protektif terhadap suatu tuntutan,sehingga apabila terjadi suatu tuntutan dengan dalil yang berbeda namun putusannya sama dengan yang terdahulu.
Fungsi utama dalam HAM sipil:
1. sebagai mekanisasi control
2. sebagai upaya perlindungan dan kesamaan keadilan.
Kondisi HAM seseorang berdasarkan bentukan suatu konstitusi yang Represif(hukum sebagai alat kekuasaan) akan bertentangan dengan Norma yang dijalankan dalam perkara didalam pengadilan.dapat diuraikan bahwa terdapat dua konsep dasar tentang Hak asasi manusia:
1. hak yang berjalan secara alamiah.
2. hak yang berjalan sesuai dengan ketentuan Hukum.
Nebis in idem didalam norma Hukum menerapkan suatu ketetapan yang pasif,hal ini dikarenakan ketentuan dalam penerapan hukum yang bersifat majemuk.Nebis in Idem hanya dapat berlaku apabila perkara tersebut dimaksudkan untuk kategori kejahatan yang dianggab umum,sehingga apabila terdapat perkara yang cenderung dapat merugikan pihak umum tidak dapat diputuskan.
Hal dan Ketentuan Penghambat Penegakan HAM:
1. adanya penyelewengan pihak penegak Hukum
2. lembaga perlindungan HAM hanya bertindak secara preventif kepada aspek hukum.
Penegakan dalam suatu peerkara hukum sangat memungkinkan melibatkan suatu analisa-analisa yang berhadapan pada kesimpulan yang tidak dapat diterima dalam HAM dikarenakan adanya ketentuan yang memaksa,sedangkan dalam HAM itu sendiri membutuhkan peranan yang menonjol,apabila suatu produk hukum yang represif tetap dijalankan maka HAM tidak akan menjadi tonggak Hukum
Dalam pasal 5 Undang-undang HAM:menyebutkan bahwa
Pasal 5 ayat 2:
setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlidungan yang adil dari pengadilan yang obyektif serta tidak berpihak.
Dengan demikian maka Nebis In idem dalam perkara pengadilan tidak dapat diganggu gugat sekalipun terdapat upaya pengajuan hukum yang baru. Sedangkan asas hukum yang berlaku sekarang ini tidak berlaku surut.
Nebis in idem dalam posisi HAM akan berbanding lurus apabila keadaan Hukum itu sendiri menunjang dengan tegas sebagaimana yang diharapkan.

Ketentuan Pasal 18 ayat 3 UU HAM:
Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan,maka berlaku ketentuan yang menguntungkan bagi tersangka.
Ketentuan dalam undang-undang tersebut tentunya akan sangat berpengaruh pada ketentuan HAM sipil berupa hak seseorang untuk bebas dari perlakuan yang buruk.
Ham yang berkaitan dengan Undang-undang akan menjadi pelaksana bagi perintah undang-undang dasar.hak-hak sipil yang menunjang dalam HAM adalah hak yang digolongkan dengan suatu karakter yuridis dalam pemerintahan.
HAM sipil akan membawa konsekuensi berupa kewajiban untuk melindungi hak dan ketentuan sipil baik dalam yurisdiksi hukum dan juga politik.
 dalam definisi yang wajib melindungi HAM:
1. Negara
2. Pemerintah
3. Hukum
4. Setiap warga
Definisi:
Dalam konteks hukum,perlindungan Hukum terhadap HAM dimaksudkan bahwa segala peeraturan perundang-undangan adalah produk yang semata-mata dihasilkan oleh badan Legislatif,sehingga adapun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan eksekutif, harus menjunjung tingi penghormatan dan juga perlindungan HAM.sehingga apabila Dilihat dalam Suatu relevansinya hukum akan dapat dijadikan sebagai sarana penegakan HAM.
Apabila seseorang dinyatakan telah bersalah terkait adanya pelanggaran berupa tindak pidana yang merugikan pemerintah dan telah dijatuhkan putusan,sehingga apabila nantinya akan terjadi permasalahan yang muncul dan menimbulkan bukti-bukti yang baru dan menguatkan tersangka yang lama,maka orang tersebut hanya akan bertindak sebagai saksi pasif perkara.
Asas kepastian Hukum yang merupakan asas untuk mencegah perkara menjadi suatu bentuk penghargaan Hak.sehingga orang yang telah diputuskan perkaranya dapat menolak dengan tegas sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.Nebis in Idem dalam hukum pelaksanaannya cenderung bergantung pada mereka yang mempunyai kemampuan hukum.

A. Kebiasaan Perilaku HAM di Indonesia:
1. Apabila terjadi suatu pelanggaran Negara baru akan bertindak apabila sudah terjadi perkaranya,namun Negara tidak bersikap aktif sebelum adanya tindakan yang mengarah pada adanya hal yang mengarah pada bentuk ktidakadilan.
2. kurangnya independensi dari mereka yang terlibat dalam suatu perkara hukum untuk berusaha menegakkan HAM demi kepentingan bersama.
3. adanya tekanan-tekanan dari pandangan bahwa apabila mereka melakukan suatu pembelaan terkait dengan HAM,akan dianggab mempengaruhi pihak lain yang akan menimbulkan suasana yang dianggab tidak kooperatif.
Apabila kondisi diatas berlaku sebagai sendi yang ada didalam teori peradilan upaya yang tentunya harus dilakukan adalah perubahan struktur stigma yang harus dimulai dari isi undang-undang itu sendiri, sehingga bagaimanapun HAM sipil dikaitkan dengan suatu perkara beik putusan mengikat atau tidak dalam nebis in idem akan berlaku sebagai pengikat konflik









PENUTUP
 Kesimpulan:
Adanya pengaruh HAM sipil dalam control hukum merupakan kesatuan yang mutlak,dengan keadaan ini maka dimungkinkan perlakuan hukum yang diberikan kepada masyarakat menjadi lebih terbatas perlakuannya. Hal ini sangat bergantung pada Norma yang diatur dan diperkuat dengan Hak-hak yang ada dalam kehidupan seseorang. Maka HAM sipil yang ada tetap harus diperjuangkan estetikanya agar perlakuan Hukum tetap mengarah kepada Keadilan,sebagaimana yang Kita Ketahui Bahwa makna keadilan itu sendiri hanya muncul pada saat seseorang merasa dirugikan oleh Pihak lain dan membutuhkan rasa yang timbul untuk mendapatkan perlindungan,dan perlindungan itu sendiri berasal dari HAM itu sendiri ditunjang dengan norma hukum. Maka HAM sipil dan perlindungan Hukum akan sangat berpengaruh dan harus dijadikan sebagai alat untuk melindungi setiap kehidupan bermasyarakat.
 Saran:
Saran yang dapat kami berikan ialah walaupun HAM merupakan Hak Setiap manusia akan tetapi dalam pelaksanaan atau penerapannya agar janganlah sampai diluar batas atau diluar norma, karena penggunaan HAM yang berlebihan dapat menimbulkan pelanggaran HAM bagi masyarakat lainnya, karena permasalahanya bagi kami keadilan merupakan suatu hal yang relative. Jadi kita tidak bias menentukan begitu saja apa itu keadilan bagi orang atau semua.
Dari hal tersebut lah dapat kami ambil makna bahwa HAM Sipil walaupun telah diatur dalam Undang – undang tetapi janganlah untuk disalah gunakan maksud atau tujuan yang telah diatur dalam Undang – Undang, karena apabila dilanggar akan dapat menimbulkan pelanggaran HAM.

Minggu, 11 April 2010

peradilan pajak

Peradilan Pajak

Peradilan Pajak adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Pengadilan Pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.
Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tetang Pengadilan Pajak, pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, penyelesaian sengketa pajak dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Karenanya, diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak. Untuk memenuhi harapan ini lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Keberadaan Pengadilan Pajak yang secara resmi dilegalkan dengan lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, ternyata masih menimbulkan kontroversi terutama menyangkut kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan nasional. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2 dan 10 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan umum (PU), lingkungan
Peradilan Agama (PA), lingkungan Peradilan Militer (PM), lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 15 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “ Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang ini”. Adapun yang dimaksud dengan Pengadilan khusus ditemui uraiannya dalam bagian Penjelasan Pasal ini yaitu antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan ketentuan di atas, maka keberadaan Pengadilan Pajak dimasukkan dalam lingkup PTUN yaitu sebagai pengadilan khusus. Akan tetapi, jika ketentuan tersebut dikontekskan dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, yang mengatur tentang kedudukan Pengadilan Pajak bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”. Ketentuan di atas, walaupun tidak secara konkrit disebutkan namun dapat dipahami kehendak Pasal tersebut adalah menginginkan adanya badan peradilan pajak secara mandiri sebagaimana juga Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer, yang sama-sama berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi keberadaannya, disamping karakteristik proses penyelesaian sengketanya yang berbeda dengan badan peradilan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Y. Sri Pudyatmoko berpendapat bahwa mengingat fungsi Pengadilan Pajak adalah bukan sebagai penegak hukum pajak semata tetapi juga sebagai instrumen perlindungan hukum bagi rakyat selaku wajib pajak ketika berhadapan dengan pemerintah sebagai penguasa yang berkedudukan sebagai fiscus. Akan tetapi fungsi seperti ini sering kali tidak banyak mendapat perhatian. Disamping itu hal yang sering mendapat sorotan adalah mengenai masalah pembinaan, dimana sering dikaitkan dengan masalah kemandirian dan keutuhan lembaga pengadilan secara keseluruhan. Ketentuan lain yang juga menimbulkan permasalahan adalah berkenaan dengan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Pajak. Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan Kasasi kepada MA. Dan terhadap putusan pengadilan yang tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali kepada MA. (Pasal 122-132 UU No. 5 Tahun 1986). Ketentuan yang ada tersebut, juga berlaku dalam lingkungan Peradilan lainnya. Sedangkan terhadap Pengadilan Pajak yang telah dimasukkan dalam lingkup pengadilan khusus di lingkungan PTUN, ternyata tetap tunduk pada undangundang Pengadilan Pajak Pasal 77 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002. Pasal ini menegaskan bahwa “putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Bagi pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”. Dengan demikian upaya hukum yang diatur dalam Pasal 77 Undang- Undang No. 14 Tahun 2002 yang hanya menyediakan Peninjauan Kembali dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum dan telah mereduksi tugas dan wewenang MA dalam penyelesaian sengketa pajak di tingkat Kasasi, serta belum sepenuhnya konsisten dengan sistem peradilan yang berpuncak ke MA, sehingga pada gilirannya belum memberikan perlindungan hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak bagi para pencari keadilan.

Tidaklah dapat disangkal bahwa peradilan adalah unsur dalam negara hukum, yang diyakini mampu memberikan perlindungan hukum maupun keadilan. Peradilan merupakan benteng terakhir untuk memperoleh jaminan hak asasi dan perlindungan hukum. Yahya harahap berpendapat sampai sekarang tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi, masih tetap diandalkan : - sebagai katup penekan atau “pressure valve” atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan
pelanggaran ketertiban umum; - peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai “the last resort”, yakni sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and to enforce justice). Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, Badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 24 UUD 1945 yaitu Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi, telah mendapatkan jaminan kemerdekaan dalam menjalankan fungsinya tersebut. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa : Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Yahya Harahap mengemukakan bahwa tuntutan pokok dari “the independence of the judiciary”, selain dari benar-benar menegakkan peradilan yang imparsial (impartiality), dalam arti bebas sepenuhnya dari pengaruhpengaruh pihak yang berperkara, juga harus bebas dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau “independence from the executive power”. Pengadilan dimaksudkan disini sebagai kekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan eksekutif. Tujuan utama kebebasan dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif, mempunyai dua sasaran pokok yaitu pertama, untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to ensures a fair and just trial). Kedua, agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to enable Adanya cita-cita di atas, dalam kekuasaan yudikatif di Indonesia adalah sesuai dengan arah kebijakan hukum Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999- 2004 yang menegaskan adanya perwujudan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta bebas korupsi dan nepotisme. Arahan dan kebijakan ini tentunya juga sesuai dengan ciri-ciri khas dari suatu negara hukum.
Selain itu, cita-cita menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri merupakan cita-cita universal sebagaimana ditegaskan dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) yang telah merupakan salah satu keputusan Konggres PBB ke-7, tentang The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Milan, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29 November 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985). Resolusi ini menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dan mandiri adalah suatu proses peradilan yang bebas dari setiap pembatasanpembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak proporsional, hasutan-hasutan, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman atau campur tangan secara langsung atau tidak langsung dari setiap sudut kemasyarakatan atau dengan alasan apapun.6 Pasal 2 jo Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, serta Pasal 11 telah menempatkan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan yang ada. Mahkamah Agung mempunyai kewenangan :

Sabtu, 13 Maret 2010

GENDER DALAM HUKUM Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia terma

GENDER DALAM HUKUM

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.

HAK – HAK WANITA DALAM HAM

Masalah HAM bagi Wanita atau perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.

v Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

v Pengertian gender dan seks

Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.

Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia.

Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.

v Permasalah Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.

Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

v Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender

Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.

Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.

2. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.

3. Pandangan stereotipe

Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan),

Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan.

Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

4. Kekerasan

Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.

Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.

5. Beban Ganda

Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.

v Upaya-upaya dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG

Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Departemen Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.

Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan

Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).

Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan.

Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan.

Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.

HAK – HAK WANITA DALAM HAM

Masalah HAM bagi Wanita atau perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.

v Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

v Pengertian gender dan seks

Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.

Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia.

Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.

v Permasalah Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.

Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

v Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender

Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.

Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.

2. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.

3. Pandangan stereotipe

Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan),

Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan.

Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

4. Kekerasan

Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.

Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.

5. Beban Ganda

Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.

v Upaya-upaya dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG

Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Departemen Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.

Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan

Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).

Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan.

Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan.

Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.

Rabu, 27 Januari 2010

TUGAS MATA KULIAH PERADILAN KHUSUS

v Peradilan Pajak

Peradilan Pajak adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.

Pengadilan Pajak dibentuk berdasarkan Undang - undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.

Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.

Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tetang Pengadilan Pajak, pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Bahwa Pengadilan Pajak merupakan ruang lingkup dalam Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa sengketa pajak pada tingkat pertama dan terakhir, putusannya berada di luar kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan Peninjauan Kembali, dan tidak ada pengaturan tentang upaya hukum berupa kasasi; Kompetensi absolut pengadilan pajak meliputi tugas dan wewenang Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa pajak. Sedang kompetensi relatif, Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota negara. Jadi tidak ada Pengadilan Pajak di daerah. Pengadilan Pajak juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak; Adanya 2 (dua) jenis upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu pengajuan banding dan gugatan, Pengadilan Pajak tidak mengenal upaya hukum banding ke pengadilan tinggi maupun kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan Pengadilan pajak yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung.

Idealnya, karena pengadilan Pajak yang menyelenggarakan peradilan pajak dan kedudukannya berada di dalam sistem peradilan (kekuasaan kehakiman), semestinya peradilan pajak dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pencari keadilan (wajib pajak). Khususnya dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Di samping itu, secara optimal dapat pula mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechmatig) atau tetap menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Dengan demikian Mahkamah Agung dapat secara penuh menegakkan supremasi hukum (frechtmatigheid) dalam sistem peradilan (unity court system) di Indonesia, khususnya di dalam sistem Peradilan Pajak.

v Mahkamah Konstitusi

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pembentukan Mahakamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.

KEWENANGAN

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

PEMOHON

Dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usa Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi per­syaratan menurut undang-undang untuk meng­ajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mah­kamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Per­syaratan legal standing atau kedudukan hukum di­mak­sud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan da­lam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut:

  1. Perorangan warganegara Indonesia;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
  3. Badan hukum publik atau privat; atau
  4. Lembaga Negara.

Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan kosntitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah:

Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia ha negara tidak dapat dijadikan dasar

v Peradilan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang telah berlaku di Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak. Dalam Konvensi Hak Anak tersebut dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, mencakup perlindungan dari segala eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dikeluarkanlah Undang-Undang yentang Pengadilan Anak.


Pengertian:

  • Yang dimaksud dengan anak dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (pasal 1 butir 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Anak Nakal adalah:

- anak yang melakukan tindak pidana, atau

- anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan

Tahapan beracara dalam pengadilan anak pada dasarnya sama dengan peradilan umum, yaitu peradilan pidana. Namun mengingat bahwa subjeknya adalah anak yang berbeda dengan subjek peradilan umum lain, maka terdapat beberapa perbedaan dan perlakuan khusus yang dibuat untuk kepentingan anak. Perbedaan dan perlakuan khusus tersebut antara lain adalah:


Dalam hal pemeriksaan:

  • Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang telah ditentukan dalam batas umur Anak Nakal, dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. (pasal 4 UU No 3 tahun 1997)
  • Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. (pasal 4 ayat 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak yang dimaksud dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali amak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya. (pasal 4 ayat 2 UU No 3 tahun 1997)
  • Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat lagi dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. (pasal 4 ayat 3 UU No 3 tahun 1997)


Dalam hal pemeriksaan di persidangan:

  • Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa. (pasal 7 ayat 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. (pasal 7 ayat 2 UU No 3 tahun 1997)
  • Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. (pasal 6 UU No 3 tahun 1997)
  • Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. (pasal 8 ayat 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka. (pasal 8 ayat 2 UU No 3 tahun 1997)
  • Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir dalam persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. (pasal 8 ayat 3 UU No 3 Tahun 1997)
  • Selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup. (pasal 8 ayat 4 UU No 3 Tahun 1997)
  • Putusan pengadilan atas perkara anak yang dilakukan dalam persidangan tertutup, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. (pasal 8 ayat 6 UU No 3 Tahun 1997)
  • Apabila ketentuan dalam pasal 8 dan pasal 6 UU No 3 Tahun 1997 ridak dilaksanakan, maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum. (pasal 153 ayat 4 KUHAP)