Rabu, 27 Januari 2010

TUGAS MATA KULIAH PERADILAN KHUSUS

v Peradilan Pajak

Peradilan Pajak adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.

Pengadilan Pajak dibentuk berdasarkan Undang - undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.

Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.

Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tetang Pengadilan Pajak, pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Bahwa Pengadilan Pajak merupakan ruang lingkup dalam Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa sengketa pajak pada tingkat pertama dan terakhir, putusannya berada di luar kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, putusan Pengadilan Pajak dapat diajukan Peninjauan Kembali, dan tidak ada pengaturan tentang upaya hukum berupa kasasi; Kompetensi absolut pengadilan pajak meliputi tugas dan wewenang Pengadilan Pajak memeriksa dan memutus sengketa pajak. Sedang kompetensi relatif, Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota negara. Jadi tidak ada Pengadilan Pajak di daerah. Pengadilan Pajak juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak; Adanya 2 (dua) jenis upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu pengajuan banding dan gugatan, Pengadilan Pajak tidak mengenal upaya hukum banding ke pengadilan tinggi maupun kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan Pengadilan pajak yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung.

Idealnya, karena pengadilan Pajak yang menyelenggarakan peradilan pajak dan kedudukannya berada di dalam sistem peradilan (kekuasaan kehakiman), semestinya peradilan pajak dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pencari keadilan (wajib pajak). Khususnya dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Di samping itu, secara optimal dapat pula mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechmatig) atau tetap menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Dengan demikian Mahkamah Agung dapat secara penuh menegakkan supremasi hukum (frechtmatigheid) dalam sistem peradilan (unity court system) di Indonesia, khususnya di dalam sistem Peradilan Pajak.

v Mahkamah Konstitusi

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pembentukan Mahakamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.

KEWENANGAN

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

PEMOHON

Dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usa Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi per­syaratan menurut undang-undang untuk meng­ajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mah­kamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Per­syaratan legal standing atau kedudukan hukum di­mak­sud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan da­lam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut:

  1. Perorangan warganegara Indonesia;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
  3. Badan hukum publik atau privat; atau
  4. Lembaga Negara.

Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan kosntitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah:

Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia ha negara tidak dapat dijadikan dasar

v Peradilan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang telah berlaku di Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak. Dalam Konvensi Hak Anak tersebut dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, mencakup perlindungan dari segala eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dikeluarkanlah Undang-Undang yentang Pengadilan Anak.


Pengertian:

  • Yang dimaksud dengan anak dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (pasal 1 butir 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Anak Nakal adalah:

- anak yang melakukan tindak pidana, atau

- anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan

Tahapan beracara dalam pengadilan anak pada dasarnya sama dengan peradilan umum, yaitu peradilan pidana. Namun mengingat bahwa subjeknya adalah anak yang berbeda dengan subjek peradilan umum lain, maka terdapat beberapa perbedaan dan perlakuan khusus yang dibuat untuk kepentingan anak. Perbedaan dan perlakuan khusus tersebut antara lain adalah:


Dalam hal pemeriksaan:

  • Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang telah ditentukan dalam batas umur Anak Nakal, dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. (pasal 4 UU No 3 tahun 1997)
  • Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. (pasal 4 ayat 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak yang dimaksud dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali amak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya. (pasal 4 ayat 2 UU No 3 tahun 1997)
  • Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat lagi dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. (pasal 4 ayat 3 UU No 3 tahun 1997)


Dalam hal pemeriksaan di persidangan:

  • Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa. (pasal 7 ayat 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. (pasal 7 ayat 2 UU No 3 tahun 1997)
  • Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. (pasal 6 UU No 3 tahun 1997)
  • Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup. (pasal 8 ayat 1 UU No 3 tahun 1997)
  • Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka. (pasal 8 ayat 2 UU No 3 tahun 1997)
  • Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir dalam persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. (pasal 8 ayat 3 UU No 3 Tahun 1997)
  • Selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup. (pasal 8 ayat 4 UU No 3 Tahun 1997)
  • Putusan pengadilan atas perkara anak yang dilakukan dalam persidangan tertutup, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. (pasal 8 ayat 6 UU No 3 Tahun 1997)
  • Apabila ketentuan dalam pasal 8 dan pasal 6 UU No 3 Tahun 1997 ridak dilaksanakan, maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum. (pasal 153 ayat 4 KUHAP)

Selasa, 05 Januari 2010

 SISTEM PERADILAN PIDANA

 

Ø  Peradilan

Lembaga atau institusi ( komponen peradilan )

 

Dalam Undang – undang No. 14 Jo 4 Thn 2004 tentang pokok2 kekuasaan kehakiman jo pasal 10. ada 4 macam peradilan:

  1. Peradilan Umum
  2. Peradilan Militer
  3. Peradilan Agama
  4. Peradilan TUN

Dalam peradilan umum terdapat 3 macam pengadilan yaitu:

  1. Pengadilan Negeri → Pengadilan Tingkat pertama
  2. Pengadilan Tinggi → Pengadilan Tingkat Dua ( Banding )
  3. Mahkamah Agung → Pengadilan Tingkat Kasasi ( Bukan peradilan tingkat 3 )

Dalam hal ini MA bukan merupakan pengadilan tingkat 3 karena MA bukan lembaga judexfactie artinya bukan lembaga yang memeriksa fakta, yang diperiksa hanyalah penerapan hukumnya. ( apakah penerapannya sudah benar atau belum ).

 

Ø  Istilah sistem peradilan Pidana (criminal justice system ) untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana di AS hal mana terkait dengan adanya ketidak puasaan dalam penanggulangn kejahatan dengan menggunakan metode law and order yang dalam konteks pebegakan hukum dikenal dengan istilah “law enforcement”

Ciri pendekatan law and order

  • Kepribadian ganda yaitu sebagai instrumen ketertiban masyarakat dan sebagai pembatas kekuasaan penegak hukum.
  • Titik berat pada law enforcement dimana hukum ditentukan dengan dukungan instansi kepolisian.
  • Keberhasilan penanggulangan kejahatan sangat tergantung pada efektifitas dan efisiensi tugas kepolisian.
  • Menimbulkan ekses deskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian.

 

Ciri – ciri dari pendekatan sistem

ü  Titik berat pada sinkronisasi dan koordinasi komponen peradilan pidana.

ü  Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

ü  Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.

ü  Penggunaan hukum sebgai instrumen untuk memantapkan “The Administration Of Justice”

Indonesia dalam KUHAP menganut kedua sistem diatas.

1.      pendekatan law and order → asas peradilan cepat, biaya ringan dan sederhana.

2.      pendekatan sistem → sudah melihat kepentingan bukan hanya komponen peradilan pidana dan dengan terdakwa.

 

Sistem peradilan Pidana → institusi → komponen peradilan pidana → sub sistem peradilan pidana

 

v  Kepolisian ( UU No. 2 thn 2002 jo no 8 thn 1981 )

Tugas kepolisian

Prefentif → Mencegah terjadinya tindak pidana

Represif → Menindak

Preemtif → membina atau mengayomi masyarakat

 

Hubungan kepolisian dengan Jaksa.

  • Penyidik dalam memulai penyidikannya dan/atau penyidik dalam menghentikan penyidikannya wajib memberitahukan pada penuntut umum.
  • Dalam hal perpanjangan penahanan hanya dapat dilakukan atas perpanjangan dari Penuintut Umum.
  • Dalam hal mengakhiri sebuah penyidikan,penyidik wajib memberikan berkas perkaranya kepada penuntut umum.

Hubungan Kepolisian dengan Pengadilan

  • Khusus mengenai tindakan penyitaan dapat dilakukan atas seizin ketua pengadilan.

Hubungan Kepolisian dengan Pengacara.

  • Dalam penyidikan pengacara dapat mendampingi kliennya namun hanya bersifat pasif,hanya dapat melihat dan mendengar tanpa boleh berbicara.

 

Asas – asas hukum Pidana ( dapat sebagai asas dalam pelaksanaan tugas kepolisian )

1.      Asas persamaan di muka hukum (equality before the law)

2.      asas peradilan cepat,sederhana dan biaya ringan.

3.      asas praduga tak bersalah.

4.      asas tuntutan rehabilitasi dan ganti rugi.

5.      asas bahwa penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan harus dilakukan dengan surat perintah.

Kejaksaan

Dalam lembaga kejaksaan ada dua fungsi yang berbeda

Jaksa → Sebagai pelaksana putusan (eksekutor)

Penuntut Umum → sebagai penuntut dalam persidangan.

 

Pengadilan ( UU No. 4 Tahun 2004 )

Dikaitkan dengan fungsi kontrol,contohnya putusan dari Pengadilan Negeri diawasi oleh Pengadilan Tinggi dan putusan Pengadilan Tinggi diawasi oleh Mahkamah Agung.