Sabtu, 13 Maret 2010

GENDER DALAM HUKUM Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia terma

GENDER DALAM HUKUM

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.

HAK – HAK WANITA DALAM HAM

Masalah HAM bagi Wanita atau perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.

v Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

v Pengertian gender dan seks

Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.

Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia.

Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.

v Permasalah Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.

Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

v Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender

Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.

Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.

2. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.

3. Pandangan stereotipe

Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan),

Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan.

Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

4. Kekerasan

Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.

Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.

5. Beban Ganda

Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.

v Upaya-upaya dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG

Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Departemen Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.

Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan

Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).

Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan.

Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan.

Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.

HAK – HAK WANITA DALAM HAM

Masalah HAM bagi Wanita atau perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.

v Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender

Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

v Pengertian gender dan seks

Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.

Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia.

Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.

v Permasalah Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.

Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.

v Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender

Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.

Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.

2. Subordinasi

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.

3. Pandangan stereotipe

Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan),

Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan.

Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

4. Kekerasan

Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.

Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.

5. Beban Ganda

Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.

v Upaya-upaya dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG

Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Departemen Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.

Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan

Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).

Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan.

Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan.

Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.