Minggu, 11 April 2010

peradilan pajak

Peradilan Pajak

Peradilan Pajak adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
Pengadilan Pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.
Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tetang Pengadilan Pajak, pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, penyelesaian sengketa pajak dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Karenanya, diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak. Untuk memenuhi harapan ini lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Keberadaan Pengadilan Pajak yang secara resmi dilegalkan dengan lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, ternyata masih menimbulkan kontroversi terutama menyangkut kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan nasional. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2 dan 10 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan umum (PU), lingkungan
Peradilan Agama (PA), lingkungan Peradilan Militer (PM), lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 15 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “ Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang ini”. Adapun yang dimaksud dengan Pengadilan khusus ditemui uraiannya dalam bagian Penjelasan Pasal ini yaitu antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan ketentuan di atas, maka keberadaan Pengadilan Pajak dimasukkan dalam lingkup PTUN yaitu sebagai pengadilan khusus. Akan tetapi, jika ketentuan tersebut dikontekskan dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, yang mengatur tentang kedudukan Pengadilan Pajak bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”. Ketentuan di atas, walaupun tidak secara konkrit disebutkan namun dapat dipahami kehendak Pasal tersebut adalah menginginkan adanya badan peradilan pajak secara mandiri sebagaimana juga Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer, yang sama-sama berkedudukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan Pengadilan Pajak telah memiliki seperangkat aturan yang melandasi keberadaannya, disamping karakteristik proses penyelesaian sengketanya yang berbeda dengan badan peradilan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Y. Sri Pudyatmoko berpendapat bahwa mengingat fungsi Pengadilan Pajak adalah bukan sebagai penegak hukum pajak semata tetapi juga sebagai instrumen perlindungan hukum bagi rakyat selaku wajib pajak ketika berhadapan dengan pemerintah sebagai penguasa yang berkedudukan sebagai fiscus. Akan tetapi fungsi seperti ini sering kali tidak banyak mendapat perhatian. Disamping itu hal yang sering mendapat sorotan adalah mengenai masalah pembinaan, dimana sering dikaitkan dengan masalah kemandirian dan keutuhan lembaga pengadilan secara keseluruhan. Ketentuan lain yang juga menimbulkan permasalahan adalah berkenaan dengan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Pajak. Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan Kasasi kepada MA. Dan terhadap putusan pengadilan yang tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali kepada MA. (Pasal 122-132 UU No. 5 Tahun 1986). Ketentuan yang ada tersebut, juga berlaku dalam lingkungan Peradilan lainnya. Sedangkan terhadap Pengadilan Pajak yang telah dimasukkan dalam lingkup pengadilan khusus di lingkungan PTUN, ternyata tetap tunduk pada undangundang Pengadilan Pajak Pasal 77 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002. Pasal ini menegaskan bahwa “putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Bagi pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”. Dengan demikian upaya hukum yang diatur dalam Pasal 77 Undang- Undang No. 14 Tahun 2002 yang hanya menyediakan Peninjauan Kembali dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum dan telah mereduksi tugas dan wewenang MA dalam penyelesaian sengketa pajak di tingkat Kasasi, serta belum sepenuhnya konsisten dengan sistem peradilan yang berpuncak ke MA, sehingga pada gilirannya belum memberikan perlindungan hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak bagi para pencari keadilan.

Tidaklah dapat disangkal bahwa peradilan adalah unsur dalam negara hukum, yang diyakini mampu memberikan perlindungan hukum maupun keadilan. Peradilan merupakan benteng terakhir untuk memperoleh jaminan hak asasi dan perlindungan hukum. Yahya harahap berpendapat sampai sekarang tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi, masih tetap diandalkan : - sebagai katup penekan atau “pressure valve” atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan
pelanggaran ketertiban umum; - peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai “the last resort”, yakni sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and to enforce justice). Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, Badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 24 UUD 1945 yaitu Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi, telah mendapatkan jaminan kemerdekaan dalam menjalankan fungsinya tersebut. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa : Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Yahya Harahap mengemukakan bahwa tuntutan pokok dari “the independence of the judiciary”, selain dari benar-benar menegakkan peradilan yang imparsial (impartiality), dalam arti bebas sepenuhnya dari pengaruhpengaruh pihak yang berperkara, juga harus bebas dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau “independence from the executive power”. Pengadilan dimaksudkan disini sebagai kekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan eksekutif. Tujuan utama kebebasan dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif, mempunyai dua sasaran pokok yaitu pertama, untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to ensures a fair and just trial). Kedua, agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to enable Adanya cita-cita di atas, dalam kekuasaan yudikatif di Indonesia adalah sesuai dengan arah kebijakan hukum Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999- 2004 yang menegaskan adanya perwujudan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta bebas korupsi dan nepotisme. Arahan dan kebijakan ini tentunya juga sesuai dengan ciri-ciri khas dari suatu negara hukum.
Selain itu, cita-cita menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri merupakan cita-cita universal sebagaimana ditegaskan dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) yang telah merupakan salah satu keputusan Konggres PBB ke-7, tentang The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Milan, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29 November 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985). Resolusi ini menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dan mandiri adalah suatu proses peradilan yang bebas dari setiap pembatasanpembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak proporsional, hasutan-hasutan, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman atau campur tangan secara langsung atau tidak langsung dari setiap sudut kemasyarakatan atau dengan alasan apapun.6 Pasal 2 jo Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, serta Pasal 11 telah menempatkan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan yang ada. Mahkamah Agung mempunyai kewenangan :